Tulisan ini banyak ibrahnya, mangga di ambil manfaatnya..ini bukan tulisan saya, saya hanya copast..sumber aslinya saya lampirkan dibawah dari tulisan ini..
bismillah
...............................................
BLEDERR!! Subhanallah,
kaget bukan buatan setelah kubaca pesan singkat di ponsel. Allah, ada yang
hendak melamarkuuu! Ini sebuah prestasi, eh (mikir) ya prestasi. Aku baca
ulang; hmm, apa ada yang keliru dengan cara ini?
“Mirror mirror on the
wall, pantaskah aku mendampinginya?” sedikit gila, aku ngobrol dengan kaca
meja rias.
Kenapa mesti ngaca,
orang seperti dia tentu melamar perempuan bukan karena fisik, kaca menjawab. Tapi sepertinya itu suara hatiku.
Umar. Nama sahabat Nabi,
juga nama sahabatku. Mungkin sama kualitas jika hidup semasa, analisaku saja.
Umar—yang kawanku—sejak SMA selalu berprestasi, pikirannya tajam, sikapnya
tegas, saleh tentu saja. Dan, posturnya itu… wajahnya itu…
astaghfirullaha’azhim. Aku pernah mengaguminya sebelum hijrah. Lalu aku tobat,
karena kekagumanku bertepuk sebelah tangan.
Diterima di kampus yang
sama, aku dan Umar berbeda fakultas. Jika bertemu tidak saling sapa, tentu
saja, kami tidak saling pandang. Tapi aku hapal bayangannya, karena tiga tahun
di SMA kami selalu satu kelas.
Tidak ada yang
kebetulan. Hari ini, di hapeku, pada sebuah pesan yang kupastikan tak salah
kirim, seorang kawan yang lain mengabarkan keinginan Umar melamarku.
Wiwi nama kawanku itu,
agak aneh memang. Menggambarkan orangtua yang tidak kreatif, halah! Ia sudah
menikah dua tahun lalu, curi start padahal kuliahnya belum lagi kelar. Sekarang
kami sarjana, tapi menganggur. Tidak apa, kan ada suami yang menanggung biaya
hidup. Prinsip yang salah. Tolong, kembalilah ke topik!
Wiwi, aku, dan Umar satu
organisasi, sebuah lembaga dakwah skup terbesar di kampus. Tidak ada yang
istimewa dengan persahabatanku dan Wiwi, kecuali bahwa dia menikah dengan kakak
sepupuku, dan kami pernah bertengkar gara-gara pada sepupuku itu, kuceritakan
kisah Wiwi yang dulu pernah sms-an ganjen dengan ikhwan senior.
Kami saling diam, lalu
berbaikan lagi saat lebaran. Bertengkarnya pada dua hari terakhir Ramadhan.
Ke nomor ponselku, Wiwi
yang tidak istimewa mengirimkan pesan ajakan ta’aruf dari Umar. Apa lagi yang
hendak dikenalkan? Ayolah Umar, bukankah kita sudah saling kenal. Kadang-kadang
agresif itu tidak baik, nuraniku angkat bicara.
Hatiku berbunga-bunga.
Tombol gulir kuarahkan ke bawah, menuju huruf ‘e’, memanggil seseorang yang
kuberi nama ‘em-er’ pada ponsel.
“Assalamu’alaykum. Apa
kabar, Mbak? Djkalhf fieoifepi dkajdkajs kugruipgoripogsw…” sebagai orang
Indonesia, etika berbasa-basi hukumnya wajib.
… terus
berbicara sambil melihat jam, pulsa berlari kejam karena beda
operator …
Mbak Em-er adalah
penasihat spiritualku, ya kalau berlebihan sebut saja guru ngaji. Teman berbagi
masalah yang bertemu muka satu pekan sekali. Kadang-kadang libur juga jika ada
acara besar, dan pertemuan dialihkan ke acara besar itu.
“O begitu… umur Ika
sekarang berapa?”
“Dua satu, Mbak,”
jawabku mantap. Masih muda kan, tapi sudah laku, gila!
“Sayang loh, masih muda
banget. Energinya masih bisa disalurkan buat umat.”
“Memangnya kalau sudah
nikah nggak bisa ngurusin umat lagi ya, Mbak?” tanyaku lugu.
“Bisa. Tapi harus
berbagi dengan suami, anak, rumah… ya kan?”
Kok nanya balik, mana
aku tahu. “Jadi gimana,
Mbak?”
“Tunda dululah. Lagipula
kita punya jalur kok, Ika tunggu saja proposal nikah dari ikhwan lewat Mbak.
Insya Allah lebih bisa dipercaya.”
Aku kaget lagi.
Benar-benar simalakama. Lantas aku pusing, antara Umar dan Mbak Em-er. Aku
cinta keduanya. Apa? Keliru, aku cinta Mbak Em-er. Umar bukan siapa-siapaku,
tidak lebih utama dari penasihat spiritual utusan struktur wilayah.
Wiwi ikut kaget mendapat
balasan pesan dariku. Lewat telepon, ia khutbah tanpa naskah. Tapi Wiwi hanya
tokoh tidak penting, ia marah karena tidak mampu menyenangkan hati Umar. Dan
asal tahu saja, Wiwi nikah lewat jalur swasta. Kakak sepupuku, yang shalihnya
biasa-biasa saja, langsung datang menemui orangtua Wiwi, tidak lewat ustadz.
***
Sepekan kemudian.
Dasar mimpi, tiga hari
berturut-turut Umar hadir di sana. Tapi syukurlah, ketaatanku pada Mbak Em-er
mampu meredam keinginan yang menurutku tak pantas itu. Prinsipku, yang baik
untuk yang baik. Itu kata Quran, jadi santai saja.
Empat bulan berikutnya.
Tapi, ‘santai’ itu cuma
gampang diketik. Kini, setelah dengan pongah kutolak Umar, hatiku hancur lebur
jadi puing paling puing. Undangan pernikahan Umar tergeletak manis di meja
kamarku. Wiwi dengan sangat girang mengantarkannya, bahkan sampai ke kamar. Dia
tentu tahu, malam ini bantal gulingku akan banjir.
Betul kata Quran, yang
baik untuk yang baik. Umar menikah dengan seorang akhwat yang kelihatan
biasa-biasa saja, tapi aku tahu hapalannya banyak, rajin tahajjud dan puasa
sunnah. Jangan tanya dari mana aku tahu, akhwat itu binaanku. Sasi, akhwat yang
dari segi fisik bertipe standar, tapi membuatku gentar dan kapok untuk
mengevaluasi amalan binaan di akhir kajian. Lagi-lagi Umar melamar anak orang
tanpa lewat ustadz atau siapalah yang cukup punya label untuk disegani. Mungkin
karena Wiwi dianggap tidak kapabel jadi comblang, Umar datang sendirian menemui
orangtua Sasi. Karena orangtua Sasi sudah setuju, binaanku yang dahsyat itu
kemudian meneleponku bukan untuk minta restu, tapi sekadar mengabarkan rencana
pernikahannya. Oh dunia, kau seperti ibu tiri!
Melihat kenekatan cara
Umar, kupikir ia tidak dalam lingkaran pengajian lagi—aku cukup berharap, agar
hati ini sedikit terhibur—tapi melihat tamu yang hadir di walimahan sederhana
itu, makin retak jantungku. Rupa dan bau mereka familiar semua.
Hari ini, pada ulang
tahun ke enam hancurnya hatiku.
Penasihat spiritualku
sudah lima kali ganti. Sekarang kajian pekanan diisi oleh Mbak Em-er Lima, tapi
aku masih sendiri. Setia menanti janji Em-er memberi ikhwan yang lebih pantas
untukku. Kabarnya, biodata yang kuukir-ukir dulu sudah menguning di laci besi
milik Kaderisasi.
Kulihat kerut dahi Bunda
makin bertambah, apalagi jika keluarga datang silaturahim. Orang-orang tak
kreatif itu seperti tak punya bahan selain membahas jodoh.
Bunda seperti orang
dapat wangsit, selalu optimis menyiapkan segala hal untuk rumah tanggaku kelak.
Beberapa alat dapur yang masih baru beliau tandai dengan inisialku, sebagai
jatah karena tak mampu memberi warisan sepetak sawah, tanah, atau rumah seperti
di sinetron-sinetron.
Melihat semua itu, baru
kusadari; aku kualat.
Enam tahun lalu aku
meminta izin pada orang yang bahkan tak ingat berapa usiaku, dan sekarang yang
bersangkutan tak bisa dituntut pertanggungjawabannya. Ke mana materi kajian?
Aku bahkan lupa untuk shalat istikharah, karena ketaatanku salah tempat.
Kesadaran yang mutlak telat, bahwa posisi syariat berada di atas aturan atau
AD/ART organisasi mana pun.
Sekarang Umar sudah
beranak tiga, sedang aku hanya berharap segera melepas predikat single sebelum
berkepala tiga. Tak berani terus terang pada Bunda soal enam tahun lalu,
khawatir keijabahan doanya sebagai ibu pudar sebab kecewa.
Menurut teori,
seharusnya aku berusaha. Maka ikhtiarku kali ini adalah mendongkrak doa Bunda
untukku yang kuyakin selalu ada dalam shalat malamnya. Usia sudah menyurutkan
semangatku untuk aktif, termasuk menjemput jodoh—entah dengan cara apa.
Terbukti, sekarang aku lebih melow, tidak lucu lagi.
Contohnya pada detik
ini, sekompi orang dari pihak Ayah datang ke rumah, ujug-ujug menawarkan
beberapa laki-laki kampung mereka untuk dijadikan menantu Ayah-Bunda. Ada yang
juragan kambing, tauke sawit, PNS,….
“Tapi ya… mereka nggak
jenggotan. Celananya biasa aja, nggak cingkrang. Biarlah, daripada yang jaga
masjid itu, jidatnya item tapi makan aja nunggu dikasih warga.”
“Bla.. bla.. bla..”
“Gimana, Ka?” tanya
Bunda.
Serrr… Bunda tidak serta
merta memberi keputusan, beliau lebih dulu bertanya padaku. Jangankan menjawab,
hatiku malah berdarah-darah mengingat kedurhakaanku melangkahi otoritasnya
sebagai orangtua.
2 comments:
udah siap nih mas ardian..
hehee...g juga..
oya..ini sama siapa ya ?
Post a Comment